Selasa, 06 Mei 2008

SUKU WANA DI TAMAN NASIONAL MOROWALI

Perjalanannya sendiri dimulai dari Makassar. Kami menggunakan sebuah mobil kijang. Sekitar 12 jam perjalanan darat yang kami tempuh. Tiba di Soroako sekitar jam 12 malam langsung kami manfaatkan untuk makan malam dan istirahat.

Pagi-pagi sekali, setelah sarapan, kami melanjutkan perjalanan. Hanya satu jam untuk mencapai dermaga Nuha, Soroako. Di tempat itu, kami menghubungi motoris ponton. Ternyata, perjalanan melintasi danau terluas ini, benar-benar mengasyikan. Indahmu, Danau Matano!

Kami berkumpul di bibir ponton. Bercengkerama.

Badai danau ternyata ancaman serius bagi siapa pun yang melintasi danau ini. Karena itu, para motoris hanya melayani penyeberangan sebelum jam 12 siang. Selepas itu, mereka khawatir diputar-putar oleh ombak dan badai. Syukur, kali ini, kami bisa menyeberang dengan lancar. Dan, aman. Sekitar dua jam mengarungi Dana Matano memberikan kesegaran baru.

Perjalanan pun berlanjut kembali. Kami melewati jalan-jalan sepi di kawasan Beteleme, Sulawesi Tengah. Ternyata, sudah berganti provinsi. Saya jadi ingat peristiwa Poso. Konon, kawasan yang kami lewati ini merupakan basis salah satu kelompok yang bertikai. Kami juga sempat melihat pos penjagaan. Dulu, siapa pun yang melewati kawasan ini harus menjalani pemeriksaan. Sekarang? Ya, tidak ada masalah. Kan, sudah aman. Total hampir 600 kilometer telah kami lewati dalam dua hari. Sekitar tiga jam lagi, kami segera memasuki kota Kolonodale. Kota pelabuhan dan terkenal dengan keindahan Teluk Towarinya.

Di kota kecil itu, kami menyinggahi rumah seorang arkeolog bernama Tanwir. Selain arkeolog, ia pun pengurus Yayasan Sahabat Morowali, yang selama ini giat memberikan advokasi pada warga suku Wana. Sesuai rencana, kami memang akan menginap di rumah panggung yang di atas air. Asli, benar-benar asyik. Selain suasananya bikin betah, kami pun bisa menikmati air segar. Lalu, menyantap ikan bakar! Wisata kuliner terasyik.

Di Kolonodale, kami juga dikenalkan dengan Jabar Lahaji, yang dikenal sebagai presidennya suku Wana! Dulu, ia dan Tanwir mengelola Yayasan Sahabat Morowali. Kini, Tanwir sibuk mengurus KPUD Kolonodale. Dan, tinggal Jabar Lahaji yang mengurus yayasan. Karena itu, ia paham betul situasi suku Wana. Jabar banyak memberikan masukan soal kondisi suku Wana sekarang. Bahkan, ia pun berjanji akan mengantarkan kami ke dalam.

Matahari menawarkan indahnya di saat fajar. Cahayanya langsung menembus kisi-kisi jendela. Suara Jabar Lahaji terdengar dari kejauhan. Sudah pagi. Saatnya bangun.

Sebelum perjalanan dilanjutkan, saya bersama Jabar Lahaji mengunjungi pasar tradisional. Selain membeli tambahan logistik, kami juga membeli kain, rokok, dan berbagai kebutuhan upacara. Kami terpaksa menyiapkan kebutuhan-kebutuhan itu, karena khawatir di dalam sana nanti tidak ada upacara adat. Maka, kami akan memintanya. Minimal upacara momago.

Jam sembilan pagi, matahari sudah terasa panasnya. Kami pun langsung meninggalkan rumah Tanwir, untuk mencapai Cagar Alam Morowali. Kali ini, kami menggunakan speedboat bermesin ganda milik Jabar Lahaji. Kami hanya diminta menyediakan tiga bahan bakar; premium, oli, dan minyak tanah, untuk melanjutkan perjalanan nanti. Paling tidak, perjalanan harus ditempuh selama tiga jam.

Tanpa terasa, kami melewati sebuah tebing. Jabar pun memanjat terlebih dulu. Lalu, memastikan kondisi ceruk. Pada akhirnya, kami semua ikut memanjat.

Di dalam ceruk memang ditemukan banyak tulang-belulang. Namun bisa dipatikan, bukan fosil. Dan, tidak ada kaitannya dengan suku Wana. Karena, warga suku Wana biasa memakamkan jasad anggota keluarganya yang meninggal di dekat rumah. Tidak pernah bergeser ke wilayah lain.

Jadi, ceruk ini sekedar lokasi pemakaman warga setempat. Saya membayangkan, repot juga ya memakamkan jasad ke lokasi seperti itu. Satu-satunya catatan yang saya dapat, ceruk itu merupakan bukti masih adanya hubungan warga setempat dengan kebiasaan leluhurnya. Yakni, ras Austronesia yang hidup di goa-goa atau ceruk pada zaman prasejarah. Bedanya hanya pada penggunaan; dulu ceruk untuk orang hidup dan sekarang untuk orang mati!

Hampir satu jam, speedboat kami bersandar di tebing berlukisan tangan itu. Setelah puas, perjalanan pun dilanjutkan. Makin asyik, tentunya. Terlebih lagi, ketika speedboat memasuki muara. Berjalan perlahan di antara potongan kayu. Jadi ingat trilogy film Indiana Jones! Dasyat!

Tapi, di depan sana, ujian fisik segera tiba.

Persis di sebuah lokasi yang ditutup potongan kayu, speedboat berhenti. Potongan kayu itu sengaja menutup sungai. “Untuk mencegah pembalak liar,” tegas Jabar Lahaji. Karena harus diakui, pohon-pohon di kawasan cagar ala mini memang cukup menarik bagi pembalak. Terutama, pembalak liar yang rakus.

Kali ini, kami harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Tujuannya adalah Desa Kea-kea, sekitar sepuluh kilometer dari tempat ini. Meski terkesan dekat, tapi jangan dianggap remeh. Selain hanya jalan setapak, kiri-kanan jalan dipenuhi rotan-rotan berduri. Bila tidak hati-hati baju atau kulit akan tergores. Meletihkan, memang.

Jalan setapak ini merupakan gerbang bagi suku Wana, untuk mencapai wilayah lain. Mereka memang dikenal sebagai pejalan kaki yang tangguh. Maklum, mereka hidup di dalam rimba, yang harus membiasakan diri menaiki dan menuruni bukit. Sambil membawa berbagai barang kebutuhannya, tentu saja. Jadi, benar-benar jauh berbeda dengan kami. Karena, kami terlalu banyak istirahat. Sekedar mengatur stamina. Yang penting sampai.

Mendekati sore, kami tiba di Desa Kea-kea. Meski desa, ternyata hanya ada lima rumah saja. Komunitas suku Wana di sebuah lokasi memang sedikit. Setiap desa paling banyak dihuni oleh sepuluh keluarga. Biasanya, mereka memilih pinggiran sungai sebagai lokasi bermukim.

Di dekat desa, kami menemukan lubang-lubang bekas burung Maleo mengerami telur-telurnya.

“Dulu, kami masih bisa melihat mereka,” kata Jabar Lahaji Lain dulu, lain sekarang. Karena, sekarang kami hanya menemukan lubang-lubangnya. Burungnya mana?

Ah, biar. Yang pasti, posisi Desa Kea-kea ada di depan mata. Total sekitar tiga jam, kami merambahi bagian depan Cagar Alam Morowali. Lumayan jauh.

Dari Desa Kea-kea, semula kami berencana akan menumpang perahu katinting untuk mencapai Desa Kayupoli. Karena, jauh-jauh hari Jabar telah mengabarkan rencana kedatangan kami kepada kepala suku, Jima. Tapi, kami terlambat tiba. Sehingga, Jima pun sudah kembali ke desanya. Mereka memang sangat disiplin soal waktu. Sehingga, kami pun memutuskan menginap di salah satu rumah di pinggiran sungai. Rumah panggung yang tidak berpintu. Namun, ada dapur dan kamar-kamar di dalamnya. Bisa jadi, ini rumah penginapan termewah di tempat ini. Lumayan untuk melepas lelah sambil mengumpulkan tenaga baru.

Perlahan-lahan gelap mulai datang. Sumber penerangan kami hanyalah lampu teplok. Kiri-kanan rumah, gelap. Benar-benar gelap. Suara jangkrik, katak, dan serangga lain, berpadu dalam satu komposisi. Indah. Namun, terdengar lirih. Dan, membawa kami dalam suasana sepi. Saya jadi ingat KuasaMu, Gusti Allah. Karena, di sini saya benar-benar merasa kecil. Sangat kecil!

Pagi-pagi sekali, matahari tidak terlalu terang. Maklum pohon-pohon rindang menutup Desa Kea-kea. Sarapan pagi sebelum mandi, menyiapkan perbekalan untuk di jalan, dan mengemas perlengkapan, mengisi kegiatan pagi.

“Kita harus jalan. Karena, saya dapat kabar, Jima akan ke Kolonodale. Menjual damar,” jelas Jabar. Menjual damar dan rotan adalah sisi lain suku Wana. Dulu, mereka memang dikenal sebagai pelompok perburu-peramu. Lalu berladang. Sekarang, ternyata berdagang!

Sejak malam, Jabar sudah mengingatkan bahwa kemungkinan besar perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki. Melewati pepohonan rotan, rawa-rawa, sungai kecil, padang ilalang, bahkan mendaki bukit. Paling tidak, kami membutuhkan waktu sekitar sepuluh jam! Wah! Tapi, mau bilang apa. The show must go on. Masak mau balik lagi ke Kolonodale?

Untuk mengatur stamina seluruh anggota ekspedisi, kami meninggalkan beberapa barang besar dan berat di Desa Kea-kea. Termasuk, sebagian bahan-bahan logistik. Setelah sampai, kami akan meminta warga suku Wana di Kayupoli untuk mengambilnya. Irit tenaga. Maka, perjalanan panjang ini pun berlanjut. Beruntung, tadi malam tidak turun hujan. Sehingga, jalan setapak tidak licin.

Perjalanan ke Desa Kayupoli, sebenarnya bisa lebih ringan dengan menggunakan perahu katinting. Paling tidak membutuhkan waktu sekedar dua jam. Lalu, berjalan sekitar dua jam. Namun, bukan berarti hal itu tidak ada resiko. Menurut Jabar Lahaji, buaya dan ular sanca kerap terlihat di pinggiran sungai. Bila tidak hati-hati, ya bisa mengancam manusia yang melewatinya. Hi!

Yang pasti, perjalanan darat memberikan anugerah momen yang dasyat. Serta, dramatik. Kerap kami berhenti di sungai untuk melepas lelah. Di saat seperti itu, langsung saja kami membuka perlengkapan masak. Niatnya hanya membuat teh dan kopi. Pada akhirnya, nasi dan mie instan pun diolah. Sementara sambil menunggu matang, teman-teman yang lain mandi. Berenang sepuas-puasnya mencari kesegaran. Jadi, seperti rekreasi. Padahal berkali-kali Jabar mengingatkan bahwa perjalanan masih jauh. Dan, bila sering berendam di air malah akan membuka pori-pori kulit. Akhirnya, kebutuhan oksigen meningkat. Jadinya, ya makin cape! Tapi, kami tidak peduli. Yang penting, segar.

Sekitar tujuh jam berjalan, diselilingi istirahat dan istirahat, perjalanan kami terhenti di rumah seorang warga suku Wana bernama Sujuh di Kampung Sulewo. Meski berada di sebuah kampung, di tempat ini hanya ada satu rumah. Ya, rumahnya pak Sujuh. Rumah panggung yang tak berpintu dan berdinding. Jadi seperti gubuk. Tempat tidur dekat dengan dapur. Tidak ada sekat-sekat di tengah rumah.

“Ini rumah khas suku Wana,” jelas Jabar Lahaji.

Beberapa anggota Tim Ekspedisi berbincang-bincang dengan Sujuh. Mereka juga mencatat berbagai cerita tentang Sujuh. Budi tidak menyia-nyiakan momen ini. Kameranya terus bergerak mengikuti dialog-dialog Sujuh dan tamu-tamunya.

Sujuh berusia sekitar 50 tahun. Ia memiliki seorang istri dan tujuh orang anak. Semuanya berkumpul di rumah itu. Dulu, ia bermukim di Desa Kayupoli. Karena sawahnya berada di Kampung Sulewo, maka ia pun memboyong seluruh anggota keluarganya ke tempat ini. Mulutnya tak berhenti menghisap rokok. Benar-benar seperti kereta api!

Di sawah, istri Sujuh tengah memanen padi. Kami pun bergegas menghampirinya seraya merekam momen mahal ini. Istri Sujuh ternyata tidak kaget dengan kehadiran kami. Jangan-jangan, ia pernah jadi artisnya Indiana Jones(?)

Sekitar satu jam berada di rumah Sujuh, kami manfaatkan juga untuk beristirahat. Ternyata, istirahat begitu mahal di tempat ini. Sama seperti air. Jadi selama perjalanan, kami sudah tidak lagi memiliki air mineral. Sebagai gantinya, kami mengisi botol air mineral dengan air sungai. Entah berapa botol air sungai singgah di perut kami. Tapi, tetap asyik. Sungguh. Saya tidak cemas akan ancaman diare atau penyakit perut lainnya.

Perjalanannya sendiri belum berakhir.

Yang jelas, kami tidak mungkin menginap. Karena, malah memperpanjang masa perjalanan. Satu-satunya jalan cepat ke Desa Kayupoli adalah mendaki bukit. Bukit Sulewo, namanya. Paling tidak kami membutuhlkan waktu sekitar empat jam.

“Ini jalan pintas tercepat,” tegas Jabar.

Kami cuma diam. Karena, bingung juga mesti ngomong apa. Akhirnya, kesempakatan pun dibuat; jalan terus. Ya, jalan terus. Mumpung matahari masih terlihat. Semakin gelap akan semakin menyulitkan.

Saya ingat ketika mengikuti pelatihan kedaruratan militer di Sanggabuana, Karawang, bersama prajurit-prajurit Kostrad. Saat itu, pelatihan dimaksudkan sebagai persiapan untuk peliputan darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam. Lumayan. Lumayan menderita bagi warga sipil seperti saya. Lumayan ancur bagi orang yang tidak pernah berolahraga seperti saya. Keuntungannya, saya jadi tahu rasanya mendaki, masuk hutan, dan “disiksa” keadaan! Karena itu, saya tetap optimis bisa menyelesaikan perjalanan. Paling tidak, rutenya mirip Sanggabuana. Agak mendaki. Tapi, tidak curam-curam amat. Moga-moga saya mampu.

Tapi, dugaan saya meleset. Ternyata, Bukit Sulewo lebih dasyat dibandingkan Bukit Sanggabuana. Paling jauh, saya hanya bisa mendaki sepuluh langkah. Setelah itu, istirahat. Bawa badan pun sudah tidak sanggup lagi. Benar-benar tak sanggup. Ternyata latihan ala militer di Sanggabuana tidak terlalu banyak membantu. Fisik, masalahnya.

Kebahagiaan benar-benar terasa, ketika kami tiba di atas Bukit Sulewo. Selain lepas dari acara daki-mendaki, kami menjumpai panorama menawan di bawah bukit. This is the real Morowali. Allah Mahaindah dan Mahacantik. Kami berkumpul sambil meregangkan kaki. Air sungai di botol sudah habis. Beruntung, Jabar menyimpan minuman bersoda. Ah, ini pasti minuman termahal di tempat ini. Maka, kami pun harus mengeroyoknya bersama-sama. Satu botol untuk sepuluh mulut. Lupakan higienis. Lupakan rasa jijik. Lupakan juga perjalanan berikutnya. Yang penting, medan terlewati dan rasa haus hilang.

Alhamdulillahi robbil ‘alamin.

Kini, kami harus menuruni bukit. Medannya juga sama sulit. Tapi, praktis lebih ringan dibandingkan mendaki. Maju tak gentar. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Pokoknya, jalan terus. Tapi, seperti biasa, saya dan Asfriyanto tetap berada di barisan belakang.

Walaupun sudah menurun, tetap saja cape. Di sebuah mata air, saya sempat beristirahat lama. Padahal, matahari sudah mulai tenggelam. Mulai gelap. Saya hanya bisa menyebut nama Yang Mahahidup, Rasulallah yang agung, dan para leluhur saya. Saya berharap mendapat kekuatan baru. Karena, saya sudah tidak bisa lagi membayangkan jarak yang akan saya lalui nanti. Pokoknya berikan kekuatan. Terserah berapa pun besarnya. Sehingga, saya bisa melewati perjalanan ini.

Kekuatan itu memang muncul. Saya sempat membuka kaos, ketika kami memasuki padang ilalang. Lalu, berjalan dan berlari kecil. Ternyata perjalanan ini makin ringan. Terima kasih, Gusti Allah. Doaku ternyata Kau dengar juga. Semangat saya kembali bangkit. Langkah kaki pun makin ringan.

Perjalanan menembus padang ilalang, melewati senja dan pekatnya malam, akhirnya terhenti di sebuah sungai. Di depan mata terlihat cahaya lampu. Itulah rumah-rumah panggung milik warga suku Wana di Desa Kayupoli. Artinya, kami telah sampai. Akhirnya.

Tanpa terasa, kami menghabiskan waktu hingga empat hari, untuk mencapai Desa Kayupoli di dalam kawasan Cagar Alam Morowali. Kawasan seluas 225 ribu hektar. Selain Desa Kayupoli, sekitar 2000 warga suku Wana bermukim di Desa Posangke, Desa Uewaju, dan Desa Kayumarangke. Jarak antardesa sangat jauh. Hitungannya, berjalan satu atau dua hari.

Di dekat rumah seorang warga, kami mendirikan tenda. Sebagian ada yang tidur di dalam tenda, sebagian lagi di rumah panggung. Acara malam itu, makan malam, beramah-tamah dengan warga, dan tidur. Rencana tidur itu sendiri terganggu, karena kami mendengar suara tetabuhan gendang dan gong. Ada upacara adat.

“Upacara momago,” sahut Jabar Lahaji. Kami pun tidak menyia-nyiakan momen ini. Kami tidak peduli rasa penat di badan dan dingin malam di desa ini.

Tentang Suku Wana

Pada 2001, arkeolog asal Universitas Hasanuddin Makassar, Iwan Sumantri, melakukan penelitian terhadap suku Wana yang bermukim di dalam kawasan Taman Nasional Morowali. Kesimpulan penelitiannya, suku Wana merupakan kelompok masyarakat perburu-peramu. Artinya, mereka merupakan komunitas adat yang menafkahi kebutuhan hidupnya dari berburu dan mengolah hasil buruannya. Kelompok masyarakat seperti biasanya gemar berpindah-pindah tempat (nomaden).

Suku Wana memiliki kepercayaan yang disebut Khalaik. Mereka percaya adanya Yang Mahapencipta, yang disebut Pue. Pue mengutus Poloisong, dan menurunkannya di lahan tundungtana di kawasan Uewaju – masih bagian dari Cagar Alam Morowali. Pada akhirnya, dari Poloisong berkembang menjadi para leluhur suku Wana.

Kepercayaan Khalaik mengenal kehidupan abadi setelah manusia mengalami kematian. Mereka juga meyakini adanya surga (saruga) sebagai wadah untuk orang-orang yang dekat dengan Pue. Sedangkan cara yang mereka lakukan untuk mendekati Yang Mahahidup bisa disaksikan dalam upacara momago, yang dimaksudkan untuk mengobati warga yang sakit.

Di antara tetabuhan gendang dan gong, seorang dukun (walia) menari di tengahnya. Ia berjinjit dan sedikit melompat. Kedua tangannya seperti mengepak laksana rajawali terbang. Matanya terpejam. Karena, ia memang dalam suasana trance (tidak sadar). Dalam keadaan tidak sadar itu, ia memohon kekuatan kepada Tuhan, untuk diberikan kekuatan menyembuhkan seseorang. Beberapa saat kemudian, ia akan menghampiri pasien yang sakit seraya mencium bagian tubuh yang dianggap sakit. Seakan ia menghisap energi negatif dalam tubuh sang pasien.

Warga suku Wana tidak mengenal areal pemakaman. Bila ada anggota keluarga yang meninggal biasanya dimakamkan di dekat rumah. Tidak ada nisan atau tanda khusus di atasnya. Setelah itu, keluarga yang masih hidup biasanya berpindah ke tempat lain. Mereka percaya, cara ini bisa membuatnya terhindar dari ketidakberuntungan. Selain itu, mereka juga berpantang mengingat atau menyebut nama anggota keluarganya yang telah meninggal.

Sejak dulu, suku Wana senantiasa bermukim di tengah hutan. Kata “wana” sendiri berarti hutan. Karena itu, mereka dikelompokkan sebagai suku terasing. Bahkan, suku primitif. Padahal, awalnya suku Wana berasal dari kawasan pesisir dan telah berinteraksi dengan masyarakat lain.

Dulu, mereka memiliki pemimpin bergelar makole bernama Taomi. Sehingga bisa disimpulkan, dulu mereka bermukim di suatu tempat dan memiliki peradaban tersendiri. Perubahan cara hidup terjadi, ketika sejumlah kesultanan di wilayah Morowali melakukan ekspansi dan memaksa mereka, untuk memeluk agama Islam. Bahkan, mereka juga dikenakan ketentuan untuk menyerahkan upeti.

Mereka menolak kewajiban itu dan memilih menghindari peperangan, dengan berpindah ke tempat lain. Jauh ke dalam hutan.

Ketentraman hidup ternyata tidak berpihak kepada mereka. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, mereka pun dipaksa bermukim di luar hutan. Namun, mereka juga tetap mendapat tekanan, untuk memeluk agam Kristen dan membayar pajak! Lagi-lagi, mereka menolak. Dan, hanya dengan berpindah lokasi bermukim yang bisa dilakukan. Artinya, hutan juga yang menjadi sasarannya.

Tekanan politik, entah untuk memeluk agama tertentu dan membayar pajak, juga terjadi setelah Indonesia merdeka. Sehingga, mereka pun makin antipati terhadap dunia luar. Jalan keluar yang dipilih, tentu saja, mereka harus menembus belantara yang makin dalam. Di sana mereka bermukim dan memenuhi kebutuhannya sebagai kelompok masyarakat perburu-peramu. Sejak itu, masyarakat di luar mereka menyebutnya sebagai “to wana” atau “orang hutan”.

Pilihan itu dilakukan dengan satu tekad; tidak mengakui adanya pemerintah (tare pamarentah), tidak menerima agama lain di luar khalaik (tare agama), dan tidak mengenal adanya kampung (tare kampung). Artinya, mereka hidup dengan caranya sendiri, dengan keyakinannya sendiri, dan dengan nomaden atau berpindah-pindah tempat. Pengaturan kampung atau adat sepenuhnya diserahkan kepada kepala suku (basoli).

Kaum lelaki dan kaum perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhannya. Prinsif kesetaraan gender. Namun suku Wana tidak pernah mengangkat perempuan sebagai kepala adat. Kaum lelaki tetap mendapat tempat pertama di pucuk pimpinan.

Upacara Mopagiu

Hari pertama di Desa Kayupoli, atau hari kelima dari seluruh perjalanan, kami mendapati drama perceraian yang disebut upacara mopagiu. Sidang perceraian, seperti juga sidang masalah-masalah lain, diselenggarakan di rumah seorang warga dipimpin oleh kepala suku (basoli). Karena, memang tidak ada bangunan khusus untuk acara adat. Jumlah rumah panggung di Desa Kayupoli adalah delapan rumah saja. Relatif sedikit dibandingkan dengan luasnya wilayah.

Sidang perceraian kali ini menggelar sengketa rumahtangga Tolodo dan Neti. Neti menggungat cerai, karena ia sering dikasari oleh suaminya. Semacam kekerasan dalam rumah tangga. Ia tidak senang. Maka, berharap bisa berpisah dari suaminya.

Jima, sang kepala suku, mengumpulkan seluruh warga. Ia menghadirkan kedua pasangan dan saksi-saksi. Mereka semua diminta berbicara dan menyampaikan kesaksian dan pendapatnya. Semua warga menyaksikan dengan penuh perhatian. Beruntung, kami pun bisa merekamnya untuk dimasukkan ke dalam struktur cerita. Momen ini di luar treatment script saya. Beruntung sekali.

Di akhir sidang, Jima memutuskan, untuk mengabulkan permohonan gugatan cerai Neti. Namun, Neti harus membayar denda kepada mantan suaminya, Tolodo, berupa kain dan sedikit uang. Mereka bersalaman. Tolodo menyerahkan uang logam. Mereka pun resmi bercerai. Sidang pun berakhir dengan damai, tanpa ada sakit hati atau dendam. Semuanya menerima hasil sidang dengan suka-cita.

Di siang hari, nyaris tidak ada kegiatan menarik di lingkungan desa. Kaum lelaki telah pergi ke ladang atau kebun. Kaum perempuan lebih banyak tinggal di rumah. Mengurus rumahtangganya. Kesimpula kami, mereka bukan lagi kelompok masyarakat perburu-peramu. Tapi, mereka benar-benar telah menjadi kelompok masyarakat peladang.

Kami juga mendapati teknik melindungi lumbung dari hama tikus. Lumbung itu mirip rumah panggung. Namun, bentuknya lebih kecil. Di ke empat tiangnya dipasang kayu lebar mirip tetampah sebagi penghalang. Sehingga, tikus tidak bisa mencapai bagian lumbung. Tapi, tertahan lempengan kayu. Sebuah prinsif kearifan lokal. Untuk mengamankan lumbung dan padinya, mereka tidak perlu memburu tikus. Mereka tidak perlu membunuhnya. Karena, hal itu akan mengganggu keseimbangan ekosistem. Tapi, mereka menangkalnya dengan cara jenius. Buat penghalang yang tidak membunuh hama tersebut.

Contoh genius local di lingkungan suku Wana, juga terlihat dalam pengolahan tebu menjadi gula. Dua bilah bambu ditumpuk di sebuah meja. Tiba dimasukkan ke tengahnya dan diperas. Air tebu mengucur ke bawah dan ditampung. Maka, mereka pun telah mendapatkan gula segar. Kami sempat mencobanya. Yang pasti, manis.

Situasi lain yang terjadi pada suku Wana adalah mereka juga mulai berdagang. Mereka manfaatkan rotan dan damar di dalam hutan, untuk dijual ke wilayah lain. Kini, hampir sebagaian besar warga Desa Kayupoli berprofesi sebagai pedagang. Hanya sebagian kecil yang memilih berladang. Pertimbangannya, tentu saja, kembali ke masalah pendapatan. Dengan berdagang rotan dan damar, dalam sebulan mereka bisa menjual sekitar 700 kilogram damar. Di Pasar Kolonodale, damar itu dihargai Rp 3.500,- per kilogramnya. Lumayan besar, kan?

Seiring dengan itu, pola hidup mereka pun jadi lebih konsumtif. Kini, mereka memiliki berbagai barang elektronik, seperti radio atau tape. Kecuali televisi. Padahal, tidak ada sumber listrik di desanya. Semuanya, sekedar untuk gaya-gayaan. Kadang mereka memakai dua arloji di tangan kiri dan tangan kanannya. Tapi, jangan tanya, jam berapa sekarang?

Upacara Momago

Selain upacara mopagiu, di hari keenam, kami juga merekam kembali pengobatan tradisional ala suku Wana berbentuk upacara adat. Upacara momago. Kali ini, para dukun (walia) di lingkungan Desa Kayupoli, turun ke arena. Mereka menari – berjinjit dan mengepakkan tangannya – dan mencium pasien yang sakit.

Upacaranya cukup lama dan menarik perhatian warga. Sebelum upacara dimulai, mereka menikmati minuman keras lokal “Cap Tikus” dan tuak dari ketan hitam “pongas”. Saya termasuk orang yang ditodong untuk mencicipinya. Untuk penghormatan. Lumayan on!

Kesan yang didapat dari upacara momago adalah adanya hubungan antara Yang Mahapencipta dan suku Wana. Mereka percaya adanya Tuhan dan memegang teguh keyakinan khalaiknya. Namun, mereka akan mengucilkan seorang warga bila diketahui ia beragama di luar khalaik. Fanatisme kesukuan. Lucunya, diam-diam, banyaknya juga warga yang telah memeluk agama di luar khalaik. Misalnya saja, Mario memeluk agama Islam. Beberapa warga lain memeluk agama Kristen. Pengaruh kaum misionaris dan pendatang. Ini juga catatan soal pergeseran acuan hidup di lingkungan suku Wana.

Tiga upacara yang kami dapat selama perjalanan, benar-benar menjadi obat kekesalan. Karena, dengan perjalanan nan dasyat dan melelahkan, ternyata di lokasi yang dituju, kesannya biasa saja. Satu-satunya momen bagus yang saya dapat, ya upacara adat. Selebihnya, biasa saja. Artinya, tidak jauh berbeda dengan suku-suku lain yang lokasi bermukimnya tidak terlalu terpencil. Antiklimaks, memang!

Malamnya, di dekat tenda dan nyala api unggun, kami melakukan diskusi. Kesimpulan terhebat yang didapat adalah adanya pergeseran budaya memang tidak bisa dibendung lagi. Menurut Jabar, hal itu sudah lama terjadi. Pergeseran terbesar adalah pola konsumtif, yang makin hari makin membesar. Kini, mereka seperti masyarakat modern di kota-kota, yang terkenal konsumtif. Sehingga, mereka juga membutuhkan sumber-sumber nafkah-nafkah, untuk memenuhi kebutuhannya. Sedikitnya, pakaian baru dan batu batterre untuk radio atau tapenya.

Kedatangan turis atau peneliti merupakan salah satu sumber nafkah itu. Mereka menyediakan jasa porter dan menyewakan perahu katintingnya. Untuk jasa porter, mereka mematok harga 50 ribu rupiah per hari. Sewa perahu bisa mencapai 300 ribu rupiah per perjalanan. Jumlahnya relatif kecil bagi kaum pendatang. Tapi, makna pergeserannya begitu terasa. Kesederhanaan dan hidup tanpa pamrih yang biasanya dengan masyarakat adat, perlahan-lahan tergusur dan berganti menjadi hitung-hitungan rupiah. Sayang, memang.

Satu-satunya prinsif hidup yang menarik perhatian saya adalah alasan untuk tare kampung, tare agama, dan tare pamarentah. Tiba-tiba saya juga membenarkan pilihan hidup itu; hidup tanpa kampung sangat masuk di akal bila kampung tidak lagi menyediakan kerukunan dan kenyamanan bagi warganya, hidup tanpa agama juga layak dipertimbangkan bila agama dijadikan komoditi atau alat untuk membodohi rakyat, serta hidup tanpa pemerintah pun sangat tepat bila pemerintah dikelola oleh pemimpin yang tidak bertanggungjawab dan tidak mempedulikan kesejahteraan rakyatnya.

Kesannya, politis sekali, ya. Ini juga, bisa jadi, imbas dari sejumlah pergeseran-pergesaran tadi. Makin cerdas dan makin pintar.

Dengan perjalanan yang begitu panjang dan melelahkan, kami hanya berada tiga hari di lokasi. Itu pun sudah maksimal. Kesannya, lebih seru perjalanannya dibandingkan situasi di lokasi. Itulah kenyataannya.

Di hari terakhir, kami pun berkumpul bersama warga. Berpamitan. Lalu, meninggalkan berbagai cerita tentang Desa Kayupoli. Seperti biasa, perjalanan harus diawali dengan jalan kaki. Menyusuri lereng-lereng bukit, yang sudah pasti, bikin lelah. Terlebih lagi, matahari mulai naik ke ubun-ubun. Karena ini perjalanan pulang, langkah kami kali ini memang jauh lebih ringan. Sekitar dua jam berjalan, kami pun tiba di pinggir danau. Perjalanan berikutnya, menumpang perahu katinting melewati danau besar dan sungai-sungai kecil.

Ternyata, ini menjadi bagian terhebat dari seluruh perjalanan. Dengan perahu yang selebar badan, kami benar-benar mendapatkan suasana mengesankan. Inilah suasana Morowali seperti yang kami lihat dari atas Bukit Sulewo. Indah dan mengesankan. Kok, klimaksnya di tempat ini. Ternyata, Sutradara Terhebat telah mengaturnya untuk kami. Sehingga, kekesalan yang sempat menyinggahi pikiran kami, benar-benar harus kami tarik lagi. Karena, inilah klimaks perjalanan itu! []

Rabu, 16 Januari 2008

"THE NATURE OF KALUMPANG"

Nama Kalumpang, sesungguhnya sangat asing bagi sebagian besar masyarakat di tanah air. Apalagi mengetahui sejarah yang dimilikinya. Bahakan, jangan-jangan kita pun tidak tahu; tempat itu berada di Indonesia atau luar negeri? Di mana itu Kalumpang? Ada apa dengan Kalumpang?

Kawasan Kalumpang berada di Kecamatan Kalumpang, sebelah Timur kota Mamuju, Sulawesi Barat. Jarak dari Mamuju menuju Kalumpang sekitar 60 kilometer. Sama dengan jarak Jakarta-Bogor. Tapi, medan yang dilalui tergolong berat. Warga setempat menggunakan mobil bergardan-ganda, untuk mencapai tempat-tempat lain di luar kawasan Kalaumpang.

Kawasan Kalumpang dimukimi oleh sekitar 4000 jiwa di sejumlah dusun. Meski banyak kemiripan dengan suku Toraja, mereka lebih suka menyebut dirinya sebagai suku Kalumpang. Karena mereka percaya, adat-istiadat yang dimilikinya memang berbeda dengan orang-orang Toraja.

Kawasan itu termasuk sering didatangi oleh para peneliti. Terutama dari kalangan arkeolog. Tujuannya adalah situs-situs di Bukit Kamasi dan Minanga Sipakko. Meskipun demikian, Kalumpang tetap saja menjadi daerah terpencil. Kekayaan arkais yang ada di sana seakan tidak mampu mengangkat namanya ke permukaan. Apalagi menarik perhatian pemerintah, untuk mempromosikannya ke tempat yang lebih terhormat.

Upaya pencarian bukti-bukti masa bercocok-tanam pada zaman prasejarah di kawasan itu, pertama kali dilakukan oleh dua Arkeolog Belanda, AA Cense dan Van Stein Callenfels pada 1933. Berdasarkan temuan mereka, akhirnya mengundang Arkeolog Belanda lainnya, HR van Heekeren, untuk mendatangi Kalumpang pada 1949. Tujuannya, menggali lebih dalam dan mencari jejak-jejak bangsa Austronesia di pedalaman Mamuju tersebut. Seperti juga para pendahulunya, Heekeren harus menyusuri sungai Karamah selama hampir sepekan untuk mencapai kawasan Kalumpang.

Alam nan eksotis, perjalanan jauh ke tempat terpencil, harus melewati daerah-daerah sulit, sudah pasti menjadi tawaran yang menggiurkan untuk bertravelling. Keterpencilan lokasi jelas akan menghadirkan cerita dramatis selama perjalanan. Dan, adanya situs-situs arkeologi dan sejarah kehadiran HR van Heekeren, jelas menjadi alasan yang paling tepat, untuk melakukan petualangan dan mendapati kehebatan arkelogisnya.

Petualangan ke Kalumpang dimulai dari Makassar. Jangan khawatir, meskipun jauh, Makassar-Mamuju menyediakan pemandangan yang menawan. Jalan-jalan yang mulai ramai, bukit-bukit karts sepanjang jalan, sawah-sawah yang mulai menguning di beberapa pinggiran jalan, dan juga laut biru. Ini adalah suasana khas Sulawesi. Hampir seluruh jalan-jalan di pulau ini menawarkan panorama seperti itu. Karena itu, rasa lelah dan bosan, nyaris tidak terasa.


Cobalah singgah di pantai Sirinou, di pesisir Kabupaten Majene. Saat matahari sedang bersiap-siap memasuki senja, kita akan dapati keindahan cahaya jingganya yang tengah merona. Indah menawan. Siapa pun dipastikan akan bergegas turun, bila mendapati pesona alam itu.
Selanjutnya, kita harus untuk bermalam di ibukota Sulawesi Barat, Mamuju. Karena, bila dilanjutkan ke Kalumpang, terus terang sangat beresiko. Jauh, medan yang sulit, dan tidak terjamin keamanannya. Banyak hotel yang bisa didapat di kota tersebut. Dari kelas losmen hingga bintang dua. Lumayan nyaman. Karena, lelahnya perjalanan darat yang telah kita tempuh, pasti akan menyeret kita untuk segera ke peraduan.

Pagi-pagi sekali, setelah sarapan di warung coto Makassar, kita bisa langsung melanjutkan perjalanan. Mamuju-Kalumpang bukanlah rute yang ringan. Setelah melewati jalan mulus, kita harus memasuki jalan-jalan tak beraspal. Kerap kita juga harus melewati lokasi pemukiman. Bahkan, harus melintasi jalanan di tengah hutan. Terasa sekali keterpencilan kawasan Kalumpang.

Perjalanan akan terhenti di sungai Karamah, sungai selebar sekitar 30 meter. Kita harus menggunakan ponton untuk mencapai Kalumpang. Selang empat jam, Kalumpang sudah di depan mata. Sebuah desa kecil yang dikelilingi bukit-bukit indah. Ya, desa di kaki bukit. Sejauh mata memandang hanya terlihat suasana hijau. Kami langsung menuju rumah pak Julius Bunga.

“Rumahnya sering dijadikan base para pendatang,” jelas seorang warga. Dan, rumah itu memang bercampur dengan penginapan. Di bagian bawah dimukimi oleh keluarga pak Julius, sedangkan bangian atas memiliki delapan kamar yang biasa disewakan.

Di kawasan Kalumpang, kita bisa mendatangi Bukit Kamasi, yang berada di belakang rumah pak Julius Bunga. Jaraknya sekitar lima kilometer dari penginapan. Kita bisa jalan kaki. Ya, hiking. Tidak terlalu sulit. Dan, kita bisa melihat adanya bekas lubang besar yang ditutupi ilalang. Letaknya dekat areal pemakaman umum. Artinya, sekian tahun telah berlalu, 60 tahun lebih, bekas penggalian itu belum tersentuh apapun. Selain ilalang liar yang menutupinya. Luar biasa.

Kita bisa menyewa perahu katinting untuk melihat Minanga Sipakko. Situsnya sendiri sebenarnya biasa saja. Hanya sebuah lubang besar sedalam dua meter, da luas sekitar empat meter. Tepiannya telah dibeton. Dengan pecahan gerabah atau kapak yang masih bisa ditemukan di dalamnya.


Bagian paling menarik adalah perjalanan air menuju situs. Luar biasa. Percikan air bening dari sungai yang beriak-riak. Bebatuan kali di pinggirnya. Bukit-bukit hijau di sana-sini. Benar-benar menakjubkan. Indah. Benar-benar indah.


Situasi serupa juga bisa kita dapatkan, ketika kami mengunjungi Desa Seseppe. Karena, kita pun harus menyusuri sungai Karamah. Kerap kita harus berhenti dan turun dari perahu, agar perahu bisa melewati jeram. Lalu, berjalan di atas bebatuan kalinya. Petualangan yang benar-benar tak terduga dan terkira nikmatnya.


Di Desa Seseppe kita bisa menemukan rumah adat atau cerita-cerita bernuansa antroplogi. Ada memang tradisi berburu kerbau. Tapi, waktunya tidak bisa ditentukan. Tapi dijamin, tempat ini menyediakan alam nan indah, tenang, dan membangun atmosfir baru di beak kita. Lupakan kota besar. Lupakan kemacetan. Lupakan segala urusan menjelimet. Sebaliknya, sorga baru tengah kita reguk. [SYAIFUL H. YUSUF]

"DUA PEREMPUAN": KISAH KEPERKASAAAN DUA MAESTRO


Aksi barongsai dan liong di sebuah vihara di Pasar Lama Tangerang membuka film dokumenter dua PEREMPUAN”, yang berkisah tentang dua orang perempuan – Masnah dan Rasinah. Masnah (Pang Tjin Nio) adalah maestro kesenian gambang kromong, yang sejak remaja hingga usia senjanya mengabdikan diri pada dunia panggung. Saat ini, hanya Masnah yang sanggup menyanyikan lagu-lagu gambang kromong klasik. Sedangkan Rasinah adalah maestro tari topeng, yang sejak kanak-kanak hingga usia uzurnya tetap setia pada kesenian tradisonal tersebut.

Establish shot dimulai dari aktivitas perahu eretan (perahu untuk menyeberangkan warga di dua tempat yang dipisahkan sungai) di atas Sungai Cisadane. Sungai besar itu memang melintasi Kota Tangerang – tempat bermukim sebagian besar warga Cina Benteng. Termasuk, Masnah.

Siang itu, Masnah keluar dari rumahnya menuju sebuah tempat hajatan. Rencananya, ia memang bakal menyanyi di tempat itu selama dua malam berturut-turut. Warga Cina Benteng memang memiliki kebiasaan menggelar hajat demikian lama. Dan sudah pasti menghadirkan kesenian gambang kromong.

Perjalanan Masnah dari rumah menuju lokasi hajatan menjadi “pengantar”, untuk memperkenalkan karakter pertama film ini. Ia bertutur soal waktu dan alasannya melibatkan diri dalam kesenian itu. Persisnya, dimulai sejak suami dan anaknya meninggal. “Kalo nggak terjun ke seni bisa-bisa senewen!” katanya.

Di tempat pesta, para panjak (pemain gambang kromong) dan para cokek (penari) juga sudah berdatangan. Selain menata kebutuhan pementasan, kita juga akan menyaksikan suasana makan siang anak-anak panggung tersebut, canda-canda khas cokek, dan ritual sederhana di belakang panggung. Meski diakui sebagai budaya Cina Keturunan, prosesi upacara tetap saja bernuansakan Islam yang sinkrestisme. Karena, mereka masih menggunakan suguihan, dupa, dam menyan!

Beberapa saat kemudian, sebuah lagu sayur (popular) “Jali-jali Ujung Jalan” meluncur dari mulut Masnah. Beberapa cokek menemani tamunya ngibing. Sementara sejumlah cokek lain sibuk berdandan. Maklum, malam nanti mereka harus tampil secantik mungkin.

Jauh di Desa Pekadangan, Indramayu, Jawa Barat, Rasinah bersama cucu dan muridnya, Aerli dan Andhika, meninggalkan rumah menuju mobil. Mereka bergerak menuju sebuah lokasi hajatan. Di atas mobil, Rasinah bercerita kepada putrinya, Wacih, soal aksi-aksi panggungnya di luar negeri. Sebagai seniman tradisional, Rasinah beruntung bisa menari di mancanegara. Sehingga, ia dianggap memiliki pengalaman lebih dibandingkan penari-penari topeng lain. Namun, ia tetap rendah hati, untuk tetap menari di panggung-panggung kampung.

Di lokasi hajatan, Mimi Wangi tengah melenggokkan Tari Gandurung. Sesaat kemudian, Rasinah dan rombongan tiba di lokasi. Mereka pun langsung berganti kostum. Dan, kita akan menyaksikan aksi Rasinah dengan tari topeng yang sacral, “Tari Panji”. Biasanya, hanya penari senior atau yang dianggap mumpuni, yang dipilih untuk menghidangkan tarian tersebut. Selain bentuk penghormatan, hal itu pun ditujukan untuk memperlihatkan keagungan filosofi tarian itu sendiri. Mereka percaya, tari topeng diwariskan oleh Sunan Kali Jaga (salah satu Wali Sanga) untuk menyiarkan Islam. Karena itu, nilai dan kesucian pesan-pesannya harus dipelihara.

Scene by scene film akan terus berpindah dari cerita Masnah ke cerita Rasinah. Begitu seterusnya. Sehingga, kita memang diminta menyimak kisah dua perempuan (seniman tradisional dan setingkat maestro) di hari-hari senja. Entah berbagai kegiatan mereka di panggung, suasana khas kesenian itu sendiri di hadapan umum, kegiatan para karakter di rumah, dan tentu saja, penuturan demi penuturan tentang masa lalu, masa sekarang, dan keinginan di depan, kedua karakter. Kekuatan informasi atau penceritaan memang bertumpu pada penuturan kedua karakter. Film dokumenter ini memang tidak menggunakan narasi. Sehingga, kita akan mendapati suara asli para karakter dengan logat, ketidakteraturan berbahasa, keluguan, dan juga kejujuran. Orisinal, jadinya.

Bahkan, bisa dikatakan, suguhan gambar menjadi menu utama, untuk dicermati, dipahami, dan diresapi, jalinan cerita dan pesan-pesan yang dikandungnya. Dampaknya, bisa jadi, akan menghadirkan multi-tafsir. Tapi, itulah film dokumenter!
Melalui karakter Masnah, film ini memberikan gambaran tentang keberadaan komunitas Cina Benteng (komunitas cina keturunan yang bermukim di pinggiran kota Jakarta), produk kebudayaan yang dilahirkan dari sebuah proses pembauran – bernama kesenian gambang kromong dengan para cokeknya, dan perjuangan keras seorang perempuan dengan segala kemampuannya.

Bicara tentang Komunitas Cina Benteng, maka kita akan dihadapkan pada persoalan ras yang “tidak jelas” (Cina bukan dan pribumi pun bukan), masyarakat yang terpinggirkan, dan komunitas yang tetap saja sulit memperjuangkan masa depannya. Sedangkan cerita tentang kesenian gambang kromong adalah pembuktian tentang betapa kuatnya penetrasi budaya Cina tempo dulu terhadap budaya lokal. Sehingga, ia akan selalu menjadi ikon keberadaan ras Cina di negeri kita.

Seiring dengan terdengarnya reportoar klasik “Pobin Khong Ji Lok”, sebenarnya kita tengah dihidangkan makna simbolik tentang peran kesenian gambang kromong. Karena, kesenian itu merupakan tampilan “superior” kaum pendatang di masa silam terhadap warga pribumi melalui simbol cokek (penari gambang kromong). Di pekalangan (arena hajatan), sang tamu (warga Cina Benteng) bisa berbuat sekehendak hatinya terhadap cokeknya (yang biasanya warga pribumi), bila ia telah memiliki cukin (kain) sang cokek. Termasuk, pelecehan seksual.

Perjalanan waktu, akhirnya menghadirkan banyak perubahan dalam tampilan dan makna-maknanya. Bila tempo dulu, para cokek menjadi simbol “superioritas” warga Cina (di zaman pemerintahan Hindia Belanda tergolong warga kelas dua) atas warga pribumi, sedangkan sekarang menjadi hubungan dagang. Sang cokek membutuhkan uang, maka ia bersedia menemani tamunya menari dan diperlakukan apa saja. Bila dulu kesenian gambang kromong menghadirkan lagu-lagu klasik (yang memperlihatkan keunikan khas Cina), maka kini lebih banyak menghadirkan lagu-lagu sayur (popular). Tujuannya memang telah bergeser, sekedar memberikan hiburan.

Dalam posisi seperti itu, Masnah menjadi bagian yang cukup penting untuk memberikan gambaran keberadaan Komunitas Cina Benteng di masa sekarang, pergeseran fungsi kesenian gambang kromong dan para cokeknya, dan perjuangan warga kelas pinggiran untuk mempertahankan identitas dan kehidupannya. Masnah atau Pang Tjin Nio menjadi karakter, karena ia perempuan tangguh dan legenda yang terus memperjuangkan pembumian warga keturunan di negeri ini.


Sekitar 300 kilometer dari kediaman Masnah, kita juga bisa menjumpai maestro Tari Topeng Indramayu bernama Rasinah di Desa Pekandangan, Kabupaten In
dramayu, Jawa Barat. Umurnya mendekati 80 tahun. Tapi, ia masih rajin membagikan ilmu menarinya kepada siapa pun. Bahkan, ia masih terus memenuhi panggilan menari di panggung-panggung hajatan. Kerap, ia turun panggung untuk meminta saweran (tips) kepada penonton.

Rasinah menjadi karakter pada bagian lain film dokumenter dua PEREMPUAN” ini, untuk memberikan gambaran perjuangan perempuan, nasib kelabu para seniman tradisional, dan perjalanan akhir sang maestro. Rasinah adalah perempuan tangguh yang sejak kanak-kanak mengalami tempaan hebat, untuk mencintai tari topeng. Kesungguhan itu diperlihatkan dengan syarat-syarat yang sebenarnya tidak masuk di akal. Misal, ia harus mutih (berpuasa dan tidak memakanan makanan memiliki rasa selama beberapa hari) atau nguler (berpuasa dan hanya memakan daun-daunan), dan sebagainya.

Pada saatnya, ia baru bisa “diamenkan” dari satu panggung ke panggung mengikuti jejak orangtuanya. Setelah menjadi penari, ia juga dhadapkan persoalan berat ketika orangtuanya meninggal. Sementara panggilan menari kian sepi. Akhirnya, ia pun jatuh dalam kemiskinan. Tapi, ia terus menari. Sampai keberuntungan pun berpihak dan membuatnya terkenal. Karena, ia kerap mendapat tugas sebagai duta seni, untuk menri di berbagai Negara.

Kisah Rasinah pada film dokumenter dua PEREMPUAN” memperlihatkan kedekatannya dengan Tari Topeng Indramayu, kesungguhannya untuk terus menari di panggung-panggung hajatan, keseriusannya untuk membagikan Tari Topenfg Indramayu kepada cucunya, dan penghormatannya pada para leluhur. Bukti kecintaan itu diperlihatkan Rasinah dengan kebiasaan berziarah di makam seniman di Desa Pekandangan, serta memperlihatkan aksi Tari Panji di tengah areal pemakaman.

Rasinah adalah contoh perempuan yang konsisten dengan jalan hidupnya, dan setia membangkitkan perjuangan untuk masa depan keluarganya. Sesungguhnya, ia tengah mengajarkan kita untuk mencintai apapun dengan ketulusan dan tanpa pernah berhenti.


Masnah dan Rasinah memiliki “kelas” di bidangnya masing-masing. Namun, keduanya memiliki kesamaan nasib di hari tuanya; papa, terpinggirkan, dan terus berjuang menikmati kehidupan itu sendiri.

Kabar terakhir, Rasinah kini tengah tergolek di tempat tidurnya akibat serangan stroke. Bahkan, ia harus me”lego” topeng-topeng yang pernah dipakainya (bisa jadi memiliki sejarah panjang) untuk menutupi biaya pengobatan. Dalam keadaan seperti itu, ia tetap berusaha mengajarkan tari topeng kepada murid-muridnya.

Luar biasa!

Pada dasarnya, dua PEREMPUAN” bukan hanya bertutur soal profil dua perempaun (maestro kesenian tradisional). Tapi, banyak pesan yang bisa digali dari kehidupan senja para lansia yang tetap produktif itu. Dan, kita bisa dengan leluasa memilah dan memilihnya. Entah sekedar ingin tahu atau mencoba dijadikan bekal untuk memotivasi diri.

Karena itu, gambar dengan keotentikan suasana dan elemen etnografinya dibiarkan mengalir. Film ini memang ingin memanjakan mata dan telinga kita dengan keaslian dan kejujuran suasana. Bila penafsiran yang muncul bertolak belakang dengan apa-apa yang dirancang oleh filmmakernya, tentu menjadi sangat lumrah. Karena, para pembuat filmnya sendiri justru membiarkan ruang-ruang penafsiran itu berkembang. Mereka berharap, dua PEREMPUAN” bukan sekadar kisah sedih di hari tua. Tapi, dapati mutiara-mutiara yang bisa digali di dalamnya.

Kalau saya mencatatnya sebagai “the spirit of women”. Entah dengan Anda.[]

"ATJEH LON SAYANG": SPIRIT YANG TAK PERNAH PADAM

Reruntuhan bangunan di Kawasan Ulee Lheu menghampat tanpa batas. Sejauh mata memandang hanya terlihat puing-puing, bendera merah-putih yang kusam, pohon-pohon yang tumbang, dan suasana miris lainnya. Inilah Nanggroe Aceh Darussalan, tiga bulan setelah tragedi tsunami terjadi.

Musibah tsunami di Aceh pada 26 Desember 2005 bisa jadi bencana terbesar di dunia selama abad ini. Paling tidak, bila hal ini dilihat dari jumlah korbannya yang mencapai 200.000 jiwa dan kerusakan fisik di banyak tempat. Adakah cerita lain yang diungkap paska bencana itu?

Maka, “ATJEH LON SAYANG”lah jawabannya.

Melalui karakter Tengku Reza Indria (seniman muda), kita akan disuguhkan rekaman dan penafsiran tentang musibah demi musibah yang terus saja menggelontor ke tanah Serambi Mekah. Reza mencatat, musibah itu dimulai dari perang-perang suku sebelum Belanda memecah-belah kesatuan warga Aceh. Setelah itu, di zaman Orde Baru, Aceh menjadi Daerah Operasi Militer (DOM), yang juga menguras air mata warga Aceh. Lepas dari DOM, kita dapati Aceh sebuah daerah konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah, hingga provinsi itu ditetapkan sebagai Daerah Darurat Militer. Klimaks bencana kemanusiaan itu, tentu saja, musibah tsunami 26 Desember 2005!

“Meskipun warga Aceh terus ditimpa kemalangan dan musibah terus-menerus, tapi mereka terus diberi ketabahan dan kekuatan. Inilah hebatnya orang Aceh,” papar Tengku Reza Indria.

Lepas dari Reza, kita akan mendapati seorang anak yatim korban tsunami bernama Munawar. Umurnya 12 tahun. Orangtuanya tewas digulung ombak tsunami. Lalu, ia dtampung di sebuah dayah (pesantren) asuhan Ustadz Tengku Abdul Razak.

Dari mulut Munawar, kita akan mendengar kembali penuturan peristiwa mengenaskan itu. Untuk melengkapi cerita Munawar, beruntung para filmmaker telah mendapat footage “cantik” yang mendekati kronologis yang dituturkan oleh Munawar.

“Beruntung teman-teman di Banda masih menyimpan rekaman gambar, yang belum dijual ke stasiun televisi. Sehingga, saya bisa mengolahnya untuk dipadukan dengan cerita yang belum utuh,” tutur Ratna S. Halim, produser eksekutif “ATJEH LON SAYANG”.

Menurut filmmakernya, film tersebut memang dibuat tanpa perencanaan. Ketika dua kru komunitas itu mendpat tugas ke Aceh untuk sebuah stasiun televisi, mereka hanya mengumpulkan gambar-gambar reruntuhan akibat tsunami. Bahkan, setelah dua kaset terisi penuh kedasyatan dampak bencana itu, mereka tetap belum menentukan premis atau film statementnya.

Rancangan cerita baru muncul, setelah mereka berbicara panjang dengan Tengku Reza Indria saat menggelar ubat atee dengan kelompok “Bangkit Aceh”nya. Perlahan-lahan ada pesan yang ingin dihadirkan, yang daya tahan dan kekuatan warga Aceh dengan segala masalahnya. Premis itu makin kuat, setelah filmmaker bertemu dengan Munawar dan gurunya, ustadz Tengku Abdul Razak.

Selain penuturan ketiga orang karakter; Tengku Reza Indria, Munawar, dan Tengku Abdul Razak, film ini juga menyuguhkan aktivitas ketiganya dengan dunianya masing-masing. Tengku Reza Indria dengan kelompok “Bangkit Aceh”nya, Munawar dengan kesehari-hariannya di dayah, dan juga aktivitas Tengku Abdul Razak di dayah.

Kekuatan utama “ATJEH LON SAYANG”, tentu saja, pada footage-footage yang dulu marak di hadapan televisi. Ketika di putar di layar Jiffest 2005, ada penonton yang mengkritisi filmmaker bahwa tampilan footage itu membuat “ATJEH LON SAYANG” jadi mirip berita. Tapi, saya sangat yakin, itulah harta karun yang akan bercerita di kemudian hari. Atau, ia juga tetap sangat menarik bagi orang yang tidak pernah melihat suasana bencana. Karena kebetulan, pengkritisi bermukim di Jakarta dan akrab dengan cerita-cerita seputar tsunami.

Namun, lepas dari kelemahan pada elemen-elemen cerita dan celah di sana-sini, film dokumenter ini layak mendapat perhatian bukan karena ide dan aktualitasnya. Tapi, keberanian menampilkan struktur cerita yang tak lazim; tiga kisah dengan kehidupannya masing-masing. Selang-seling jadinya. Tapi, kekayaan etnografi Aceh dengan nasyid dayah yang khas sekali, menjadi perekat yang ampuh. Sehingga, kita tidak terasa tengah dipindah-pindah dari satu bangunan ke bangunan lain.

Keberanian filmmaker untuk lepas dari pakem berita yang harus bernarasi, juga membuat kita jadi leluasa menikmati gambar dan suara. Sehingga, pada akhirnya, toh kita diberi keleluasaan pula untuk menafsirkannya. Memang gado-gado yang disuguhkan. Tapi, kita tetap berhak memilih bagian mana yang layak disantap. Karena itu. Kita pun bisa leluasa pula untuk meraih mutiara-mutiara yang berada di balik cerita.[]